Rabu, 18 November 2020

Marah-Marah

Ini sekedar cerita singkat mengenai kejadian yang aku alami semalam. Kejadian yang menurutku memancing emosi, sekaligus memberikanku sebuah pelajaran. Cerita ini sebenarnya tidak penting, dasar antum-antum yang gabut mau bacanya hehehe. Yaudah meskipun nggak penting, mari kita petik hikmah yang terkandung dalam cerita ini.

ANGERY (Gambar dikutip dari knowyourmeme.com)

Little Story About NGOPI

Setiap Selasa Malam merupakan sebuah malam spesial bagi para jemaah Masjid Al-Hijrah, yang ada di komplek tempat tinggalku. Yang membuat spesial adalah karena adanya acara NGOPI yang dilaksanakan di rumah-rumah para penduduk, yang mana setiap minggunya akan kedapatan giliran menjadi tuan rumah melaksanakan agenda NGOPI. O iya, NGOPI ini sebenarnya singkatan dari NGObrol Perkara Islam, yang isi kegiatannya, yaaa minum kopi wkwkwk. Ngga sekedar minum kopi saja sih, namun para jemaah mendengarkan kajian-kajian tentang Agama Islam yang disampaikan oleh salah satu ustadz yang juga bermukim di komplek tempatku tinggal. Tak lupa berbagai macam hidangan disuguhkan oleh tuan rumah, dan juga secangkir kopi tak kan tinggal.

Kebetulan di Selasa Malam kemarin aku memiliki banyak waktu luang sehingga aku berkesempatan untuk ikut acara NGOPI ini. Pikir-pikir sekali-kali deh refreshing iman, yang mana selama ini kegiatan sehari-hariku sering lalai terhadap nilai-nilai agama, bahkan mungkin sering diselingi dengan berbagai macam kemaksiatan (Astagfirullah 😟). Kebetulan juga yang menjadi tuan rumah pada kesempatan kali ini adalah di rumah seorang tetangga yang anaknya adalah teman nongki jikalau sedang gabut di rumah. O ya temanku ini sebut saja Jono (nama samaran 😜). Sebuah kebetulan yang menjadi kesempatan buat aku dan teman-teman yang lain untuk bersilahturahmi ke rumah Jono. Karena NGOPI ini di rumah Jono, maka aku beserta teman-teman lain bergegas ke rumah Jono usai melaksanakan salat Isya, mendahului bapak-bapak jemaah Masjid Al-Hijrah.

Benar saja, sesampainya di rumah Jono belum ada tamu lain yang datang. Karpet-karpet pun sudah terbentang, sofa yang seharusnya di ruang tamu telah dipindahkan ke teras rumah, menandakan acara akan dilaksanakan di ruang tamu yang berdekatan dengan pintu utama serta teras halaman rumah. Sembari menunggu tamu-tamu lain untuk datang, aku duduk di sofa yang telah dipindahkan itu, kemudian disusul oleh teman-teman lain, mengambil posisinya masing-masing agar kami bisa berdekatan untuk mengobrol dan bercengkerama. Sembari menghabiskan waktu demi menunggu jemaah Masjid Al-Hijrah untuk datang, beberapa temanku mengobrol dengan yang lain membahas segala macam topik yang hangat di tengah-tengah kalangan remaja. Ada juga yang fokus dengan gawainya karena terlarut dengan keseruan gim daring yang sedang dimainkannya. Nah, aku sendiri sedang mengobrol dengan Dika (lagi-lagi sebuah nama samaran) yang sedang berada di sebelahku, yang mana kami menduduki sebuah sofa yang sama. Tak jarang seuntai tawaan lepas keluar dari mulut kami.

Tak terasa jemaah sudah memadati rumah Jono. Ada satu orang lagi yang masih ditunggu. Ialah seorang ustadz yang akan memberikan siraman rohani pada malam ini. Detik demi detik waktu berjalan. Sekitar 15 menit kemudian seorang ustadz yang ditunggu-tunggu pun akhirnya hadir di rumah Jono. Pak Ustadz yang baru datang itu disambut oleh para tamu-tamu yang telah hadir terlebih dahulu, tak ketinggalan juga tuan rumah turut menyambut Pak Ustadz yang kemudian mempersilahkan beliau untuk masuk ke rumah. Tak lama kemudian para jemaah yang masih diluar mengikuti Pak Ustadz masuk ke rumah, kemudian duduk dengan teratur di ruang tamu yang akan menjadi tempat kegiatan kajian yang akan dilaksanakan pada malam ini.

Kondisi ruang tamu telah dipadati oleh bapak-bapak jemaah Masjid Al-Hijrah, sehingga memaksa kami para remaja untuk tetap berada di lingkungan teras rumah. Untungnya tuan rumah membentangkan karpet di teras, sehingga bisa menjadi tempat duduk bagi para tamu yang tidak kedapatan tempat di dalam rumah. Semua teman-temanku yang awalnya duduk di teras samping berpindah menuju teras depan untuk menduduki karpet yang telah disediakan, kecuali aku dan Dika. Aku dan Dika masih asyik melanjuti obrolan kosong kami, sehingga hanya tersisa kami berdua yang masih menepati teras samping itu.

Salah seorang bapak membuka acara tersebut. Walaupun acara sudah dimulai, aku dan Dika makin asyik mengobrol. U know lah, kalo lagi ngumpul dengan teman, ngga asyik kalo ngobrolnya bervolume kecil alias berbisik-bisik. Aku dan Dika melanjutkan obrolan kami dengan suara yang agak lantang, dan tak lupa tertawaan lepas pun menyelingi obrolanku, seolah-olah tidak menghiraukan acara NGOPI yang sedang berlangsung.

Ditengah-tengah keasyikan dunia kami, kami dikejutkan oleh seorang bapak yang memarahi kami. "Woy woyyy sssst sssssst, berisik nian uong nak dengeri ceramah", bentak seorang bapak yang nampaknya kesal dengan tingkah kami. Aku hanya melihat seorang bapak itu dengan diam seribu kata, ditambah rasa kesal yang membara di dalam hati. Teman-teman lain memberikan ekspresi meledek, merasa lucu melihat kami yang kena marah layaknya seorang bocah yang main-main ketika salat berjamaah di masjid. Kami pun menghentikan obrolan kamu, kemudian aku memutuskan untuk pindah ke teras bagian depan untuk menyimak ceramah yang disampaikan oleh Pak Ustadz.

***

Marah-Marah Bikin Hati Dongkol

Jujur saja, setelah kejadian itu aku merasa kesal terhadap sikap bapak itu. I mean I'm a grown man, I'm fricking 23 years old adult which about less than 5 years old I'm ready to get married! Why you have to behave like that?. Aku mengakui kesalahanku, apa yang kami lakukan itu tak pantas dilakukan karena mengganggu ketenangan jemaah yang lain. Tetapi apakah dengan bentakan bisa menyelesaikan masalah dan membuat Anda menjadi hebat? Sebuah perbuatan yang sangat disayangkan menurutku, padahal hal-hal tersebut bisa diselesaikan dengan sekedar mengingatkan dengan lemah lembut. Aku bahkan sempat berkata kepada temanku yang isinya kurang lebih aku bisa saja memukul orang itu karena perbuatan yang dilakukannya itu. But no, baku hantam bukanlah sebuah solusi dan hal tersebut bukan untuk ditiru wkwkw.

Mengapa aku bisa berkata demikian? Ingat, ini adalah urusan sesama orang dewasa. Beliau obviously seorang bapacc-bapacc yang telah berkeluarga, dan aku adalah seorang pemuda berumur 23 tahun yang baru saja melepas status remaja, memasuki fase menjadi orang dewasa. Beruntung aku masih bisa menggunakan akal sehatku untuk mengendalikan emosi. Coba kalau yang dimarahinya itu seorang preman pasar yang iseng ingin ikut datang kajian. Boleh jadi pada malam itu menjadi sebuah adegan pertumpahan darah. We don't know what will happen.

Mengapa Kita Marah?

Kejadian marah-memarahi itu sebenarnya sering dilakukan oleh seseorang yang dirasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada seorang yang dimarahi itu. Ketika melihat bocah tertawa cekakak-cekikikan di saat salat berjamaah berlangsung, kita dengan entengnya menghardik bocah tersebut untuk menyuruhnya diam, dan tak jarang pula sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipinya. Atau mungkin ada orang tua yang memarahi anaknya habis-habisan karena nilai rapor anaknya yang jelek. Atau mungkin kita sendiri yang tak sadar pernah memarahi orang lain/teman kita sendiri sampai urat-urat di kepala keluar akibat marah yang kita lakukan itu benar-benar ekstrem. Tetapi pernahkah kita menyadari bahwa sikap marah yang keras tersebut bisa menyisakan goresan di hati yang bakal abadi hingga akhir hayat orang yang dimarahi itu?

Marah memang sifat alami manusia. Ketika realita tidak klop dengan ekspektasi yang ada di dalam hati, akan menimbulkan sebuah amarah dalam hati. Wajar jika kita marah, tetapi bagaimana kita mengendalikan amarah kita tersebut yang mesti kita pikirkan. Dalam Agama Islam pun mengajarkan kita untuk bersabar, bahkan diajarkan pula tata cara meredam amarah (Aku bukan orang yang sangat paham tentang agama, tetapi aku sekedar berbagi apa yang pernah aku baca/ketahui dari beberapa kajian-kajian Islam yang pernah aku simak. Untuk dalil, ayat, hadis, dan lain sebagainya bisa kalian cari sendiri di Google ya wkwkw karena penulis sendiri malas googling). Bahkan dalam kajian NGOPI yang aku ikuti itu, Pak Ustadz juga menyebutkan orang yang paling cerdas, paling kuat, bukanlah orang yang pandai bergulat maupun yang pandai dalam segala macam ilmu pengetahuan, melainkan orang yang pandai menahan amarahnya. Dari sini menggambarkan betapa Islam sangat peduli dengan kita untuk menjaga amarah kita.

Jujur saja, ketika aku masih bocah hingga remaja aku sering marah-marah dengan temanku. Marah-marah memang enak dilakukan, hati merasa lega karena telah melepaskan api emosi yang membara di dalam hati. Tetapi kenikmatan itu bisa dirasakan hanya untuk sementara. Setelah beberapa waktu, kita bakal merasa awkward kepada teman yang telah dimarahi itu, merasa tidak enak karena perbuatan yang kita lakukan itu. Semakin bertambah umur, semakin aku berpikir bahwa marah-marah bukanlah menjadi solusi bagi setiap masalah. Selain menimbulkan rasa sakit di dalam hati orang yang dimarahi itu, marah-marah juga menunjukkan kita adalah seseorang yang idiot di depan khalayak.

Kebanyakan orang selalu menghubungkan kegiatan marah-marah dengan kegagahan. Salah satunya yang sering terjadi adalah kegiatan yang bertitel keakraban/pengenalan dunia sekolah yang rangkaian kegiatannya dirasa hambar jika tidak dilengkapi dengan adegan marah-marah. Ya, kegiatan ini lebih luas dikenal sebagai perpeloncoan. Para kakak-kakak senior memarahi adik-adik juniornya yang masih polos itu, yang ngga tau apa sih kesalahan mereka sampai-sampai membuat kakak senior yang terhormat memarahi si adik bak harimau sedang mengaum. Tak jarang marah-marah itu diiringi dengan berbagai caci maki yang dibumbui juga oleh bumbu pedas yang bernama sumpah serapah. Apa alasan mereka melakukan hal yang demikian?

Ya, aku sepakat kakak-kakak senior melakukan hal tersebut atas dasar balas dendam terhadap apa yang mereka alami ketika mereka menjadi junior. Namun, ada alasan lain yang menurutku menguatkan mereka mendesain kegiatan itu dengan amarah. Apa itu? Yaitu mereka sedang mengalami krisis eksistensi. Mereka ingin dipandang sebagai senior yang gagah, senior yang sangar, senior yang hebat yang berani melantangkan suaranya di depan junior-junior yang lugu. Mereka merasa mereka adalah orang-orang yang terlebih dahulu menempati sekolah dibandingkan si junior, sehingga junior mesti hormat kepada sang kakak senior. Nanti kalau ada yang mewek, mereka berkilah "Dek dulu kakak lebih parah, kami malah disuruh jungkir balik, berendam di lumpur, terus nangkepi babi hutan. Kalian baru segitu udah manja! Jadi pemuda jangan manja, Dekk!!". Bruh, let me tell you something. You are stupid. You are idiot. You are nothing but just piece of sh*t with dead flesh inside your skull. You're just wasting space in this f*ing earth.

Apakah objek sasaran amarah, alias si junior itu bakal memandang hebat si kakak-kakak senior itu? Menurutku tidak! At least mereka bakal merasa takut, bahkan akan menaruh rasa kebencian dengan kakak senior (I can say this statement because it's based on my own experience). Alih-alih ingin membentuk mental yang kuat, malah banyak dapat mudhorot-nya. Udah dihujat orang, dapat dosa lagi karena telah berbuat zalim dengan orang lain aowkwokwk.

Marah Tidak Akan Menyelesaikan Segala Masalah!

Mengapa kita mesti marah-marah, padahal kita masih bisa menyelesaikan permasalahan dengan lemah lembut. Contohnya adalah kejadian yang aku ceritakan tadi. Memang, si bapak berniat untuk menegur kami untuk menjaga ketenangan selama acara. Tetapi, jika kita menegur seseorang diiringi dengan marah-marah, apakah niat menegurnya itu murni benar-benar ingin menegur, atau sekedar pemuas nafsu hati buat melampiaskan amarahnya?

Kejadian itu juga menjadi tamparan keras buatku juga. Aku ngga bisa serta merta mengklaim perbuatan si bapak itu salah tanpa pencerminan pada diri aku sendiri untuk melakukan hal tersebut. Dari kejadian itu menyadarkan aku agar untuk mengutamakan lemah lembut ketika menegur seseorang ataupun menghadapi seseorang yang melakukan kesalahan, terutama ketika berhadapan dengan anak-anak apalagi tidak lama lagi aku bakal menjadi seorang ayah. Kita sebagai orang dewasa, rasanya enek banget melihat tingkah bocah yang nakal, sehingga memunculkan nafsu ingin memarahi dan menaboki si bocah demi memuaskan hasrat emosi di dalam hati. Tetapi ingatlah, kita ngga tahu efek jangka panjang apa yang akan terjadi kepada si bocah. Mungkin ia bakal merasa trauma, atau bahkan menaruh kebencian terhadap orang-orang yang akan membentuk karakter kriminal.

Sama halnya dengan kegiatan sekolah Senior vs Junior. Selagi masih bisa mengadakan acara dengan penuh cinta nan bermanfaat, mengapa harus mengambil jalur kekerasan yang berisi perundungan dan menebar rasa kebencian? Apalagi sebagai kaum terpelajar, ayo pakai otakmu yang cerdas untuk mendesain kegiatan yang bermanfaat, namun penuh cinta sehingga memberikan kesan positif bagi peserta yang mengikuti acara tersebut. C'mon man, this isn't colonialism era. It's modern era! Masa HP nya "smart phone", tapi orangnya "stupid people"?

Final Verdict

Intinya, marah-marah bukanlah cara elegan untuk menyelesaikan masalah. Orang-orang bakal memandang kita sebagai orang yang berakhlak buruk, orang yang kasar, dan jauh dari kata bijaksana. Apapun permasalahannya, menurutku cukup diselesaikan dengan kepala dingin, tanpa harus mengundang emosi marah di dalamnya. Sebarkan energi positif kita kepada orang-orang lain agar orang lain turut senang atas kemuliaan akhlak yang kita miliki. Banyak orang yang senang dengan kita, banyak orang-orang mendoakan kita yang baik-baik, bahkan hingga makin banyak rezeki yang akan kita dapatkan aamiiin.

By the way, di akhir acara NGOPI, si bapak langsung menemui aku dan Dika. Beliau meminta maaf atas perbuatan yang telah dilakukannya. Entah mengapa kok bisa-bisanya si bapak yang awalnya marah-marah dengan kami, tetapi kini berubah 180 derajat menjadi lemah lembut untuk meminta maaf. Mungkin karena memang ada dorongan dari hati si bapak, atau mungkin karena kajian NGOPI yang disampaikan Pak Ustadz yang manjur melembutkan hati para pendengarnya, atau mungkin karena aku yang ngga bisa menyembunyikan rasa benciku terhadap seseorang wkwkwk. Tetapi usai si bapak meminta maaf, aku pun meminta maaf kembali atas sikap kami yang mengganggu ketenangan orang lain. Dan akhirnya, kami saling bermaafan dan menjadi sebuah happy ending eyaaaak.

Pelajaran yang aku petik dari kejadian ini adalah, 1) jangan ribut ketika sedang menghadiri kajian wkwk, 2) menegur orang lain haruslah dengan lemah-lembut, 3) selalu menjaga tali silaturahmi dengan saling memaafkan apabila ada saudara kita yang melakukan kesalahan.

Disclaimer aja nih, aku menulis tulisan ini bukan berarti aku menyalah-nyalahi ataupun menjelekkan si bapak atas perbuatannya itu. Aku juga ngga bermaksud yang dikit-dikit cerita, dikit-dikit ngadu karena mental lembek yang baru dimarah sedikit malah nge-up tulisan ini di ranah blog. Bukan! Aku sekedar ingin berbagi cerita yang aku alami, agar para pembaca mengambil hikmah atas kejadian ini. Tulisan ini juga bisa menjadi media introspeksi diri agar senantiasa memperbaiki diri kita pribadi menjadi orang-orang yang terbaik (Ya walaupun tulisan ini menurutku agak useless, dan para pembaca benar-benar gabut jika menyimak tulisan ini hingga akhir wkwkw).

Yaudah aku akhiri tulisan saja tulisan ini. Semakin diketik, semakin banyak yang ingin kuceritakan yang berujung tulisan blog yang semakin panjang wkwk OK bye, see you next time (:

6 comments

  1. Kwkwk, ya itu maksudnya, pada tahap sebelum kamu berpikir untuk menahan emosi atas bentakan bapak-bapak itu, harusnya ada tahap kamu berpikir untuk menahan obrolanmu di tengah-tengah majelis.. Wkwk. Tapi untungnya happy ending lah ya. Yang rukun sama tetangga. Wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya juga khilaf, bro. Kami sedang duduk di luar, kajiannya ada di dalam rumah. Ya u know lah namanya juga keasyikan ngobrol karena kelamaan nunggu ustadz datang. Kami juga ngga sadar kalo suaranya begitu besar sehingga mengganggu orang di dalam rumah. Kalo lagi di dalam rumahnya, tengah-tengah keramaian, ngga bakalan juga ribut bekoar-koar di tengah-tengah kerumunan wkwkwk.
      I'm not flexing myself by stone-hearted defending my own opinion, but I'm jut telling the fact. I hope we're all better at understanding other point of view, before judging someone else fault.

      Hapus
  2. waah waah wahhh. keren sekali ini, walopun agak tragis di awal dan tetap happy ending di akhir #Eaak wqkwk

    Aku mau tanya n sediikit memberi opini,
    1. Spakah usia 23 tahun seperti kita masih bisa disebut remaja? ;v
    2. Usia 23, pada hakikatnya sudah matang, sudah bisa kawin n nikah.So, kau tidak harus menunggu sampe 5 tahun lagii. HAHAHA
    3. Bapac-bapac yg marah ke kita, yg udah bisa dikatkan dewasa, emang bikin kesel. Setuju samo antum yg bilang bahwa mereka marah krn merasa sok punya kuasa. Padhal bisa saja tu orang kita pukul n ajak baku hantam. Pasti mereka kalah hahaa.
    Aku punya pengalaman serupa, kapan2 aku bahas insyaa allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. Jelas tidak! Makanya di atas aku banyak menekankan "ORANG DEWASA"

      2. Umur 17 tahun pun sudah cukup matang buat nikah (Less than 5 years kan itu standar yang aku tetapkan buat diri aku sendiri. Kalo nikahnya minggu depan, itu masih less than 5 years loh wkwk)
      3. Ayo do buatkan tulisanmu eheeh

      Hapus
    2. jangankan umur 17, umur 12an sebenerny kita jg udah "matang" scr biologis hahaaa

      Hapus
  3. I know that feel haha.
    Sama, sering kesal ketika cuma melakukan kesalahan kecil tapi langsung diperlakukam macam melanggar konstitusi. Dibentak-bentak keras. Rasanya hina sekali diri ini.

    Tapi, setelahnya aku juga jadi mikir, oh iya kan emang salah aku wkwk. Kadangg juga tanpa sadar aku jadi ikut ngebentak orang juga sebenernya.

    BalasHapus
ads
avatar
Admin THE-Mangcoy Online
Welcome to THE-Mangcoy theme