Minggu, 13 November 2022

Goodbye Windows, Hello Linux - 3 Alasan Mengapa Aku Memilih Linux

Beberapa bulan lalu, aku melakukan sesuatu yang cukup mengejutkan meskipun tidak ada orang-orang yang peduli 😛, yaitu menghapus sistem operasi Windows dari laptop kesayanganku. Mengapa perbuatanku tersebut tergolong  "mengejutkan"? Disaat orang-orang berbondong-bondong mau nginstal Windows, terutama ketika laptopnya nge-hang, nge-lag, dan minta instal ulang, ini malah meng-uninstall si Windows-nya. Ada apa gerangan?

Beberapa tahun belakangan aku masih menggunakan konfigurasi dual-boot di laptop kesayanganku ini, yaitu terinstal sistem operasi Windows 10 dan Ubuntu. Alasannya? Entah mengapa aku memiliki rasa kecintaan tersendiri terhadap sistem operasi Ubuntu... pada saat itu (baca juga: Alasan Aku Mencintai Linux Ubuntu), sehingga aku memutuskan menyeting laptopku menjadi dual-boot Windows dan Ubuntu. Padahal kalau dipikir-pikir, OS Windows sudah mumpuni mencakup seluruh workflow penggunaan perangkat komputer untukku, dan juga nginstal OS dual-boot semacam itu bikin storage laptop semakin berat.

3 Alasan Mengapa Linux Lebih Baik Ketimbang Windows

Awal-awalnya OS Linux hanya berperan sebagai secondary operating system, yang mana sebagian besar dunia berkomputerku dihabiskan di Windows. Tetapi lama-kelamaan, Ubuntu semakin sering aku booting dan perlahan mulai meninggalkan Windows. Hingga di suatu saat OS Windows tak lagi aku sentuh-sentuh. Hanya membusuk bikin sumpek ruang penyimpanan laptop saja.

Dan setelah ditimbang masak-masak, aku putuskan untuk menghapus partisi Windows, dan full 100% menjadi pengguna linux. Apa sih alasannya kenapa aku say goodbye ke Windows, dan beralih ke Linux? Simak tulisanku berikut ini.

Linux Jauh Lebih Ringan Ketimbang Windows

Dari pengalaman selama enam tahun sebagai pengguna dual-boot Linux Ubuntu dan Windows 10, aku merasa Ubuntu jauh lebih ringan ketimbang Windows 10. Apalagi sebagai pengguna laptop berspesifikasi kentang, aku merasa lebih sering mengalami aplikasi Not Responding di Windows 10 ketimbang Ubuntu. Kalau di cek di Task Manager, behh siap-siap bakal disuguhkan tampilan CPU & Disk Usage yang sering mentok 100%. Iya sih di era Windows XP dan Windows 7 dulu PC kentang sekalipun masih terasa sangat responsif meskipun hanya dibekali RAM yang sangat terbatas dan penyimpanan yang belum SSD. Sayangnya kedua sistem operasi tersebut had loooong gone and isn't supported anymore. Bisa saja Windows 8 menjadi solusi alternatif buat yang "maksa" ingin pakai Windows dengan penggunaan resources yang lebih ringan ketimbang Windows 10. Namun, tahun depan Microsoft pun akan menyuntik mati Windows 8, menyusul kakak-kakaknya terdahulu sehingga mau tidak mau hanya tersisa Windows 10 dan Windows 11 saja yang masih dapat dukungan dari Microsoft. (Baca juga: Windows 11 Dirilis, Mimpi Buruk Bagi Pengguna PC Lawas?)

Lalu hadirlah sistem operasi Linux dengan berbagai macam pilihan distronya,  menawarkan penggunaan resources yang tergolong ringan, dukungan hardware yang luas baik dari terbaru hingga paling lawas sekalipun, dengan tetap tidak menyampingkan sisi modernitas. I can safely say, seberat-beratnya distro Linux, masih lebih ringan ketimbang Windows 10. Seandainya saja Windows XP kinda resurrected again by Microsoft, boleh jadi aku hijrah kembali ke sistem operasi Windows.

Automatic Update Windows 10 yang Menjengkelkan

Kalian tahu salah satu fitur Windows 10 yang berhasil bikin penggunanya frustasi? Ya, benar sekali, Automatic Update yang tak dapat dimatikan. Meng-update Windows sebenarnya hal yang bagus dilakukan, karena dengan adanya update sistem operasi kita bakal lebih aman dari bahaya serangan kejahatan cyber. Namun, terkadang update tersebut datang di waktu yang tidak tepat dan terkesan "maksa". Pernahkah Anda sedang buru-buru mau ngeprint, eh tiba-tiba laptop tak kunjung menyala karena si Windows masih sibuk menginstall update?

Setiap sistem operasi yang bagus pasti akan mendapatkan update dari kreatornya, termasuk Linux. Namun di Linux update tersebut cenderung bisa terkontrol oleh penggunanya. Misal, kita bisa memilih update apa saja kah yang ingin diinstal, dan user pun bisa memilih kapan mau menginstal update tersebut, sehingga tak akan mengganggu pekerjaan penggunanya.

Dunia Open Source yang Menakjubkan

Dulu, kalau aku mau mencari software, pasti mencari software yang paling banyak penggunanya. Kalau seandainya software berbayar? Ya tinggal download versi bajakannya saja.

Namun perangkat lunak open source kian menyadarkanku, terutama segi "kehalalan" dari penggunaan software bajakan. Kalau dipakai hanya untuk belajar masih bisalah ditolerir. Dipakai untuk cari duit? Waduh, gimana ya. Anggap saja ente ngojek tapi pakai motor curian.

Nilai plus dari software open source adalah it's community driven, not corporate driven. Adanya komunitas tersebut membuat permasalahan terkait software yang digunakan cenderung cepat solved. Berbeda dengan software closed source yang bergantung dengan perusahaan pembuat software-nya. Terkadang feedback dari pengguna cenderung lambat direspon, dan bahkan tak dihiraukan sama sekali.

Jadi, kalau sekarang, disaat perlu dengan suatu software, tak lagi mencari software populer yang paling banyak penggunanya, melainkan kira-kira ada kah alternatif open source-nya.

***

Jadi, ketiga alasan utama itulah mengapa aku hijrah dari Windows ke Linux. Ada beberapa alasan-alasan lainnya yang membuat aku lebih memilih Linux ketimbang Windows, seperti memberi kesempatan buatku untuk belajar hal baru dan lebih memahami under the hood bagaimana suatu sistem operasi bekerja, terutama di sistem yang UNIX based.

Pilihan hijrahku ini boleh jadi tidak cocok dengan semua orang. Graphics designer yang bergantung dengan Adobe Suite misalnya, hingga saat ini tidak ada dukungan software Adobe untuk Linux. Mau tidak mau harus tetap stay di Windows, atau ke Mac OS yang mana hanya perangkat tertentu saja yang bisa menjalankan sistem operasi tersebut.

Kalau ditanya distro Linux apakah yang aku gunakan sekarang? Jawabannya adalah Pop OS dan Fedora. Pop OS terinstal di laptop pribadiku, sedangkan Fedora di laptop punya kantor. Dulu aku memang fans die hard Ubuntu, namun ada alasan tertentu mengapa malah beralih ke distro Linux yang lainnya. Sebagai programmer ecek-ecek, aku menemukan kenyamanan tersendiri di sistem operasi Linux ini, dan rasanya sungkan untuk kembali ke Windows. Even Windows 11 dengan segala penyegaran tampilannya pun tidak sedikit pun membuatku tertarik.

Tampilan Pop_OS 22.04 LTS
 

Bagaimana dengan para pembaca sekalian? Tertarik buat ikutan hijrah ke Linux juga?

2 comments

  1. Kepikiran juga ganti jadi Linux buat laptop saya yg sekarang udah kentang ini. Apalagi sekarang banyakan kerjaan saya hampir semua lewat Google Doc, ngedit gambar bisa pake GIMP.

    Dulu udah pernah nyoba pake Kubuntu, OpenSUSE, sama Linux Mint buat ngulik2 doang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayok bang hijrah ke linux juga. Linux memang sahabat laptop kentang 😃

      Hapus
ads
avatar
Admin THE-Mangcoy Online
Welcome to THE-Mangcoy theme